Kamis, 25 Desember 2008

"Kau datang bagai fajar menyapa setiap hela nafas manusia
memberikan kekuatan yang tak pernah bisa terbalas dengan apa pun juga
membiarkan setiap keburukanku menjadi keindahanku
menghapus semua airmata menjadi seukir senyuman
membuat dunia tahu akan kebesaran cinta...." (vera w.a)

Minggu, 21 Desember 2008

Memulai Jadi Jurnalis

Menjadi jurnalis atau wartawan itu katanya susah banget...kenapa?karena kita mesti jadi pribadi yang kuat, pemberani, dan ga gampang putus asa. Seorang wartawan juga harus benar-benar memiliki sense of journalis. wartawan harus independent. harus berani membela kebenaran dan menghancurkan kejahatan..(hehehe..kayak pahlawan aja ya..?)Tapi itu sedikit pandangan saya saja tentang bagaimana sosok wartawan...
Saya sebenarnya takut aja menjadi seorang wartawan.Pertanyaan yang masih aja bergelanyut di kepala saya adalah, mampu ga sih seorang cewek jadi seorang jurnalis yang handal?Pertanyaan yang sulit saya jawab buat diri saya sendiri. mungkin karena cewek dianggap lebih lemah secara fisik daripada cowok. Karena pekerjaan wartawan itu kan identik dengan turun ke lapangan mencari informasi tanpa kenal waktu...Tapi melihat kenyataan yang nyata saat ini, ternyata banyak juga cewek yang mau jadi wartawan, bahkan mereka enjoy aja dengan profesi yang mereka geluti.Kata mereka sih, lama-lama menjadi wartawan itu asyik juga...meskipun belum merasakan, tapi saya cukup mengetahui bagaimana susahnya jadi wartawan, ini semua berkat tugas-tugas kuliah saya (Terimakasih rasanya pantas saya ucapkan kepada dosen-dosen jurnalistik-ku....) meskipun capek banget dan susahnya banget bangeeeet ..tapi ternyata menjadi seorang jurnalis itu asyik juga loh....Baiklah kalau begitu, teman-teman tertarikkah anda menjadi jurnalis?untuk memulainya...selalu bergabunglah dengan Blog saya ini...(hehehe)
Diklat Jurnalistik UMM - Kompas

Pengalaman yang berharga dan tak terlupakan mungkin menjadi kata yang tepat menggambarkan perasaan saya ketika mengikuti Diklat Jurnalistik bersama Kompas Senin (15/12) sampai Kamis (18/12) kemarin.

Selama empat hari digencet oleh pelajaran-pelajaran seputar dunia jurnalistik, meskipun melelahkan tapi tidak membuat saya menyesal mengikuti diklat ini. Ini adalah pengalaman sekaligus pelajaran yang berharga buat saya.

Apalagi Tim Kompas sangat serius dalam membimbing kami di diklat ini.
Hal yang paling membanggakan adalah kami bisa menciptakan satu lembar koran hasil desain kami sendiri loh...Wah, seru banget pokoknya....Bravo Kompas..Bravo UMM...!!!

Sistem Pers Indonesia masa Orde Baru

TUGAS SKI
Sistem Pers Indonesia, Sistem Komunikasi Pada Masa Orde Baru
Terbelenggunya Media Massa Dalam Kekuasaan Orde Baru
( Kasus Pembredelan Majalah Tempo)


Nama : Vera Widiaswari Ardy
NIM : 06220327
Kelas : C

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2008

BAB I
Pendahuluan

A. Latar belakang
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Orde baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya. Ekonomi Indonesia memang berkembang pesat pada saat itu, program transmigrasi, KB dan memerangi buta huruf pun sukses pada masa itu. Bahkan pendapatan per kapita pun melonjak naik. Namun itu hanyalah merupakan gambaran kebaikan dari kesuksesan pemerintah orde baru. Padahal didalam system pemerintahannya begitu banyak terjadi kecurangan- kecurangan, seperti merajalelanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kebebasan pers sangat terbatas, dan banyak terjadinya pembredelan media massa.
Pada saat itu terjadi peristiwa yang fenomenal yaitu peristiwa Malari. Peristiwa Malari melibatkan pemredelan 12 media cetak. Kasus Malari yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1974 itu mencatat begitu banyak korban jiwa dan kerusakan terjadi dimana-mana. Namun yang paling fenomenal sepanjang pembedelan media massa adalah pembredelan atau pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sejumlah media massa, antara lain Majalah Tempo, deTIK, dan Editor. Ketiganya ditutup penerbitannya karena pemberitaan yang tergolong kritis terhadap pemerintah.
Dari begitu banyaknya pembedelan yang terjadi pada masa orde baru, kasus pembredelan Tempo adalah yang paling menarik. Karena meskipun pada waktu itu tempo dalam keadaan yang sangat sulit, namun ia tetap berani berjuang untuk melawan pemerintah saat itu.



B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana perkembangan pers pada masa orde baru?
2. Mengapa Tempo tetap melawan kekuasaan Orde Baru?
3. Bagaimana fungsi dewan pers pada masa Orde baru?




BAB II
PEMBAHASAN


A. Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru

Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.
Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan.
Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu pers benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya yang antu rezim Soeharto.

B. Pembredelan Tempo serta perlawanannya terhadap pemerintah Orde Baru
Pembredelan 1994 ibarat hujan, jika bukan badai dalam ekologi politik Indonesia secara menyeluruh. Tidak baru, tidak aneh dan tidak istimewa jika dipahami dalam ekosistemnya. (Aliansi Jurnalis Independen, 1995 : 140)
Sebelum dibredel pada 21 Juni 2004, Tempo menjadi majalah berita mingguan yang paling penting di Indonesia. Pemimpin Editornya adalah Gunawan Mohammad yang merupakan seorang panyair dan intelektual yang cukup terkemuka di Indonesia. Pada 1982 majalah Tempo pernah ditutup untuk sementara waktu, karena berani melaporkan situasi pemilu saat itu yang ricuh. Namun dua minggu kemudian, Tempo diizinkan kembali untuk terbit. Pemerintah Orde Baru memang selalu was-was terhadap Tempo, sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah. Majalah ini memang popular dengan independensinya yang tinggi dan juga keberaniannya dalam mengungkap fakta di lapangan. Selain itu kritikan- kritikan Tempo terhadap pemerintah di tuliskan dengan kata-kata yang pedas dan bombastis. Goenawan pernah menulis di majalah Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari kerja jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”.
Meskipun berani melawan pemerintah, namun tidak berarti Tempo bebas dari tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan sebuah berita yang menyangkut politik serta keburukan pemerintah, Tempo telah mendapatkanberkali-kali maendapatkan peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus rela dibungkam dengan aksi pembredelan itu.
Namun perjuangan Tempo tidak berhenti sampai disana. Pembredelan bukanlah akhir dari riwayat Tempo. Untuk tetap survive, ia harus menggunakan trik dan startegi.Salah satu trik dan strategi yang digunakan Tempo adalah yang pertama adalah mengganti kalimat aktif menjadi pasif dan yang kedua adalah stategi pinjam mulut. Semua strategi itu dilakukan Tempo untuk menjamin kelangsungannya sebagai media yang independen dan terbuka. Tekanan yang dating bertubi-tubi dari pemerintah tidak meluluhkan semangat Tempo untuk terus menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.
Setelah pembredelan 21 Juni 1994, wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti dengan mendirikan Tempo Interaktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada tahun 1995. Perjuangan ini membuktikan komitmen Tempo untuk menjunjung kebebasan pers yang terbelenggu ada pada zaman Orde Baru. Kemudian Tempo terbit kembali pada tanggal 6 Oktober 1998, setelah jatuhnya Orde Baru.
C. Fungsi Dewan Pers pada masa Orde Baru
Dewan pers adalah lembaga yang menaungi pers di Indonesia. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Ada tujuh fungsi dewan pers yang diamanatkan UU, diantaranya : (www.JurnalNasional.com)
1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat.
2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.
4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat adn pemerintah.
6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan.
7. Mendata perusahaan pers.

Pada masa Orde baru, fungsi dewan pers ini tidaklah efektif. Dewan pers hanyalah formalitras semata. Dewan Pers bukannya melindungi sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari pemerintah Orde Baru. Hal itu terlihat jelas ketika pembredelan 1994, banyak anggota dari dewan pers yang tidak menyetujui pembredelan. Termasuk juga Gunaman Muhammad yang selaku editor Tempo juga termasuk dalam dewan pers saat itu. Namun ironisnya, pada saat itu dewan pers diminta untuk mendukung pembredelan tersebut. Meskipun dewan pers menolak pembredelan, tetap saja pembredelan dilaksanakan. Menolak berarti melawan pemerintah. Berarti benar bahwa dewan pers hanya formalitas saja.
Istilah pers digunakan dalam konteks historis seperti pada konteks “press freedom or law” dan “power of the press”. Sehingga dalam fungsi dan kedudukannya seperti itu, tampaknya, pers dipandang sebagai kekuatan yang mampu mempengaruhi masyarakat secara massal. ( John C. Merrill, 1991, dalam Asep Saeful, 1999 : 26)). Seharusnya pers selain mempengaruhi masyarakat, pers juga bisa mempengaruhi pemerintah. Karena pengertian secara missal itu adalah seluruh lapisan masyarakat baik itu pemerintah maupun masyarakat. Namun di Era Orde Baru, dewan pers memang gagal meningkatkan kehidupan pers nasional, sehingga dunia pers hanya terbelenggu oleh kekuasaan oleh kekuasaan Orde Baru tanpa bisa memperjuangkan hak-haknya.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pers dalam masa orde baru seakan-akan kehilangan jati dirinya sebagai media yang bebas berpendapat dan menyampaikan informasi. Meskipun orde baru telah menjanjikan keterbukaan dan kebebasan di awal pemerintahannya, namun pada kenyataannya dunia pers malah terbelenggu dan mendapat tekanan dari segala aspek. Pers pun tidak mau hanya diam dan terus mengikuti permainan politik Orde baru. Sehingga banyak media massa yang memberontak melalui tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintah, bahkan banyak pula yang membeberkan keburukan pemerintah. Itulah sebabnya pada tahun 1994 banyak media yang dibredel, seperti Tempo, deTIK, dan Monitor. Namun majalah Tempo adalah satu-satunya yang berjuang dan terus melawan pemerintah orde baru melalui tulisan-tulisannya hingga sampai akhirnya bisa kembali terbit setelah jatuhnya Orde baru. Pemerintah memang memegang kendali dalam semua aspek pada saat, terutama dalam dunia pers. Lalu apa fungsi dari dewan pers pada saat itu? Ternyata dewan pers hanyalah dibuat pemerintah untuk melindungi kepentingan pemerintah saja, bukan melindungi insan pers dan masyarakat. Dewan Pers seakan kehilangan fungsinya dan hanya formalitas belaka.

B. Saran

Dengan jatuhnya Orde Baru, maka dimulailah kebangkitan bagi pers Indonesia. Kebebasan pers diakui. Akibatnya adalah banyak bermunculan di media massa baru, baik itu cetak maupun elektronik berbondong-bondong mengisi era reformasi saat itu. Hingga saat ini, kebebasan pers memang diakui. Inilah yang diinginkan oleh pers pada masa Orde Baru. Saat ini memang buakn pemerintah yang mengendalikan rakyat, tetapi sebaliknya rakyat melaui pers dapat mengendalikan pemerintah. Namun kebebasan dunia pers saat ini tidak terkendali. Malah terlalu bebas dan berlebihan. Sehingga siapa pun bisa menjadi wartawan dan siapun bisa menulis apa saja yang mereka suka dalam media massa. Seharusnya pers saat ini memegang prinsip kebebasan yang terbatas. Jadi pers harus tetap memegang prinsip-prinsip jurnalis dan kote etik wartawan.



Daftar Pustaka


Aliansi Jurnalis Independen. 1995. Wartawan Independen, Sebuah Pertanggungjawaban AJI. Jakarta : Aliansi Jurnalis Independen

Asep Saeful Muhtadi. 1999. Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik. Ciputat : Logos wacana Ilmu

Sudirman Tebba. 2005. Jurnalistik Baru. Ciputat : Kalam Indonesia

http://www.tempointeraktif.com/ang/min/02/18/kolom2.htm

Depth Reporting

Ini adalah Tugas MK Depth Reporting. Selama hampir kurang lebih satu bulan melakukan wawancara dan penelitian, akhirnya jadilah laporan nyata yang cukup puanjang ini.., Selamat membaca...

POLA DISTRIBUSI LPG,
dalam KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG
DI KOTA MALANG

Udara panas, namun angin tetap berhembus sepoi. Suara bising kereta api yang baru saja lewat berdengung di telinga. Jalanan pun seketika macet. Kendaraan ngantri di depan rel menunggu kereta api lewat. Gas silih berganti berdengung dari setiap kendaraan. Semakin memekakkan telinga. Sungguh terlihat bagai acara Moto GP ataupun F1 di televisi. Disinilah Startnya, dan batas rel adalah bendera yang ditunggu-tunggu untuk memulai kompetisi. Kompetisi menyebrangi rel kereta api.
RW 12 RT 1,2,3,4 Kelurahan Kesatrian tertulis diatas gapuranya. Letaknya tepat berada disamping rel kerata api. Jalannya sangat sempit dan menjorok ke bawah. Saya pun menyusuri sepanjang jalan sempit yang lebih pantas dikatakan gang ini.
Rumah warga berjejer dan berhimpit-himpitan si sepanjang gang. Memang bukan rumah mewah, tapi lumayan bagus. Inikah perkampungan Brantas yang dikatakan orang kampung kumuh itu? Namun tidak ada kesan kumuh yang terlihat.
“ Di bawah sana banyak warga yang miskin mbak, rumahnya juga tidak layak...”, kata Sarijono ketua RW kampung ini ketika saya temui dirumahnya.
“ kalau mau keliling melihat-lihat, biar saya antar”, katanya lagi.
Ternyata dugaan saya salah, di bawah sanalah kampung kumuh yang sesungguhnya itu. Rumah-rumah letaknya tidak beraturan. Mungkin disebabkan karena tanah yang menjorok ke bawah hingga tepi sungai. Banyak rumah yang sebenarnya tidak layak untuk ditempati. Namun aliran sungai Brantas meniupkan angin yang cukup sejuk, sedikit menghilangkan kesan kumuh dan sumpek di kampung ini.
Cuaca terik siang itu, namun angin tetap berhembus sepoi. Sesosok perempuan yang telah menginjak usia senja itu tersenyum. Ia duduk di depan pintu sebuah bilik yang berada tepat di sebelah ruangan yang berdasarkan tulisan pada bagian atas pintunya WC / kamar mandi umum. Dialah perempuan yang dimaksud Sarijono.
Mbah Srimunah nama perempuan tua itu. Usianya 68 tahun. Ia tinggal di biliknya yang hanya berukuran 2 X 3 meter yang tepat berada di sebelah WC dan kamar mandi umum di kampung ini. Mbah Srimunah memang sejak kecil tinggal disini dan menjadi penjaga sekaligus cleaning service WC dan kamar mandi umum ini. Malang nasibnya, ia hanya sendiri tanpa ada satu pun keluarganya disini.
Pada pintu biliknya tertempel stiker bertuliskan BPN MIGAS, Sensus pengguna minyak tanah bersubsidi tahun 2007. Mbah srimunah adalah salah satu dari yang memperoleh paket perdana dalam konversi tahun lalu. Namun tak ada kompor gas dibilik ini. Hanya kompor minyak yang terlihat nangkring dipojok ruangan. Ketika saya tanya masalah kompor gas yang pernah diperolehnya dulu, perempuan yang murah senyum itu pun tersenyum lagi.
“ Mbah sudah jual kompornya”
“ kenapa di jual mbah? berarti mbah ga pernah pake’ kompornya ya?”
“ mbah pernah pake’, tapi cuma 2 bulan, habis itu ga bisa beli gas lagi, jadi mbah jual, mbah juga takut make’nya, takut meledak”
“ tapi dulu mbah pernah di ajarin cara make’nya kan?”
“ iya pernah, tapi namanya takut, ya ga berani make’, soalnya mbah kan ga biasa pake kompor begituan”, katanya lalu tersenyum lagi.
Wanita asal Blitar yang telah tinggal di Malang sejak umur 5 tahun itu menjual kompor gas pemberian pemerintah itu seharga Rp. 200.000,-. Uang hasil penjualannya ia gunakan untuk biaya berobat dan untuk kebutuhan sehari-harinya. Obrolan kami pun terus berlanjut. Meskipun terkadang saya harus sedikit memutar otak saya untuk mengartikan bahasa jawanya yang tidak begitu saya mengerti. Di saat seperti inilah saya menyesali, mengapa tidak dari dulu belajar bahasa jawa.
“mbah nelongso nak…mbah nelongso…”,katanya.
Ketika saya pamit, ia pun menangis. Terik siang tak terasa lagi, hanya iba dan sendu menyelimuti. “ kesini lagi ya ”katanya.
Aku kembali menyusuri jalan setapak dikampung itu. Pikiranku menerawang, pasti masih ada beribu-ribu orang yang nasibnya seperti Mbah Srimunah tadi. Apakah pemerintah tahu keadaan mereka? Apakah pemerintah mengerti kesusahan mereka? Dan mereka saat ini semakin terpuruk dengan kebijakan-kebijakan yang malah berdampak pempersusah perekonomian rakyat kecil.
Tak berbeda pula dengan mbah Srimunah, Jumali (73 tahun) pun demikian, Bapak yang juga sudah menginjak usia senja ini pun mengatakan, “ga ada gunanya pemerintah ngasi bantuan kompor gas, kita ini cuma orang miskin, gak pantes pake kompor bagus”.
Jumali hanyalah seorang pemulung. Ia pun tinggal di rumahnya yang juga lebih tepat disebut bilik itu. Ukurannya hanya 3 X 4 meter saja. Bersama-sama dengan anak perempuan, menantu dan cucunya yang masih bayi, ia mengaku hidup mereka benar-benar susah. “ buat makan saja susah, apalagi buat beli susu…”, katanya seraya mengelus-elus kelapa cucunya yang masih bayi itu. Maka bayi mungil itu hanya diberi minum ASI dan botol susu yang hanya bisa diisi dengan air gula saja.
Masalah konversi, tentu saja keluarga kecil ini memperoleh paket kompor gas gratis itu. Ia pun memperlihatkan kompor gas yang tergantung tepat di atas lemari kayu di sudut ruangan.
”Saya pake cuma sekali setelah dibagikan, lagian anak saya takut make’nya”
“ Kalo kompor minyak kan lebih aman mbak, lagian disini pake triplek, kalo pake gas takut meledak”, katanya lagi.
Hari telah menjelang sore, saya putuskan untuk pulang. Namun sebelumnya saya berpamitan dulu dengan Pak Sarijono.
“katanya akan ada konversi lagi mbak, konversi bagian II, tapi khusus buat para pedagang saja”, katanya lagi
“kenapa cuma buat pedagang pak?”
“ga tahu juga ya mbak”
“Bapak dapat infonya dari mana pak?”
“Sudah banyak yang tahu mbak, katanya Pertamina mau ngasi lagi”


GADO-GADO, RUJAK, PECEL, GORENGAN, DAN LAUK SERTA SAYURAN BERJEJER di dalam box kaca yang terletak diatas meja kayu itu. Ibu separuh baya itu sibuk melayani para pembelinya yang kebanyakan anak-anak. “Bu Sum, aq rujak,”. “aq gorengannya bu’..,” teriak mereka tak sabar. Sembari mengulek bumbu rujaknya, ia pun memasukkan beberapa gorengan ke dalam wajan besar yang bertengger cantik di atas kompor gasnya. Tabung LPG berukuran 3 kg yang duduk manis disampingnya. Ibu Sumiyarti yang akrab dipanggil ibu Sum ini mengaku bahwa kompor gas tersebut diperolehnya dari konversi tahun 2007 silam. Sebelum ada konversi, ia masih menggunakan kompor minyak. Namun berbeda dengan Mbah srimunah dan Jumali, ibu ini mengaku lebih senang menggunakan kompor gas. “ lebih cepet masaknya, juga lebih hemat pake kompor gas”, katanya. “lebih bersih juga daripada kompor minyak”, katanya lagi.
Bagi para penjual seperti Ibu Sum, mungkin menggunakan kompor LPG lebih efektif dan efisien dibandingkan bila menggunakan kompor minyak. Berdasarkan keterangan dari Ibu Sum, ia biasa membeli 3 kg LPG dengan harga Rp. 13.500,-. Sehari ia bisa menghabiskan 1 tabung. Sedangkan bila memakai kompor minyak, ia bisa menghabiskan sebanyak 4 liter minyak tanah dalam sehari. Harga 1 liter minyak tanah sekarang adalah Rp. 3.500,-. Berarti dalam sehari pemakaian minyak tanah menghabiskan Rp.14.000,- sedangkan tabung LPG seharga Rp. 13.500,-. Meskipun hanya hemat Rp.500,-, namun banyak faktor lainnya yang menyebabkan ibu ini tetap menggunakan kompor LPG. Diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan diatas yaitu faktor kebersihan, praktis, dan rasa kenyamanan menggunakannya. Namun bukan berarti ia tidak pernah merasa takut seperti halnya warga yang lainnya. “perasaan was-was atau takut itu pernah ada sih jeng, tapi lama-lama hilang juga”.
Memang masalah konversi ini telah menjadi kontroversi yang hangat di kalangan masyarakat. Berdasarkan hasil poling yang dilakukan Laboratorium Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang menyebutkan sebagian besar ibu rumah tangga menolak konversi. Dari 158 rumah tangga yang dimintai pendapatnya, sebanyak 120 warga atau 75,95 persen menyatakan menolak konversi. Sementara 30 warga diantaranya setuju dan 8 lainnya setuju namun merasa kasihan kepada masyarakat miskin. (www.surya.co.id)

BANGUNAN KANTOR INI SEDIKIT TAK TERLIHAT KARENA DIKELILINGI OLEH POHON besar nan rindang. Setelah seminggu memasukkan surat tugas kemari, dan setiap hari saya harus menelpon dan menanyakan kapan bisa kemari. Dan inilah hari yang saya tunggu.
“ Apa yang bisa saya bantu mbak? ” Dra. Penny Indriani, MM, Kabid. Perdagangan Disperindakop Kota Malang ini menyambut dengan senyum ramah. Ruangan yang sempit, namun cukup nyaman. Dia membaca surat tugas saya yang berada di atas mejanya. Namun saya tetap memperkenalkan diri.
Penny mengatakan bahwa ia tidak mempunyai data-data tentang masalah konversi minyak tanah ke gas. Bahkan disperindag tidak memiliki kewenangan dalam masalah konversi ini. “Disperindag hanya sebagai pengawas dan membantu pertamina untuk memperoleh data-data tentang daerah yang memperoleh konversi”, kata Penny.
Penny pun kemudian membuka map-map yang terletak di atas meja kerjanya. Aku pun memperoleh data jumlah paket perdana yang didistribusikan ke masyarakat saat konversi, sbb :


Kecamatan Jumlah Paket
Blimbing 36. 947

Klojen 28.115

Sukun 44.517

Lowokwaru 27.718

Kedungkandang 45.383

Jumlah 182.680


“Masyarakat pun sebenarnya belum bisa menerima sepenuhnya konversi ini, karena dengan 1 tabung gas mereka bisa memperoleh 3 liter minyak tanah dan itu bisa digunakan selama 3 minggu, sedangkan dengan 1 tabung gas hanya bertahan dalam waktu 1 minggu, ”ungkapnya. Ia pun mengatakan bahwa bila ingin data yang lebih lengkap,ke Pertamina saja.
Azan dzuhur pun berkumandang. Aku telah keluar dari kantor Disperindagkop, jalanan sepi. Pantas, ini hari jumat. Aku pun memutuskan untuk pulang.

Kebijakan konversi minyak tanah ke gas (LPG) dilakukan pemerintah guna menghemat subsidi minyak tanah sebesar 30 triliun lebih dengan mengkonversi 5,2 juta kiloliter minyak tanah dengan 3,5 juta ton LPG. Memang subsidi minyak tanah selama ini menguras pengeluaran pemerintah melebihi anggaran lainnya. Di Indonesia, ketergantungan minyak tanah menurut data bahwa konsumsi minyak tanah saat ini mencapai ± 10 juta kiloliter/tahun. (www.bumn-ri.com/pertamina).
Sebenarnya, konversi minyak tanah ke LPG merupakan upaya untuk memudahkan masyarakat. Dengan menggunakan kompor LPG, masyarakat dapat memasak dengan lebih cepat, praktis dan efisien. Namun masyarakat yang memperoleh kompor LPG ini tentunya golongan masyarakat menengah kebawah. Jadi, tentu saja mereka akan “kaget” dengan adanya konversi ini. Dari yang tidak pernah menggunakan kompor gas, di anjurkan untuk menggunakannya, tentu hal ini tidak mudah bagi masyarakat. Perubahan pola dan gaya hidup tentu tidak bisa hanya dengan sekejap saja. Butuh kemantapan diri untuk bisa menerima dan beradaptasi dengan gaya hidup baru, menggunakan kompor gas tersebut.

20 JUNI 2008, SETELAH DUA MINGGU BARULAH HARI INI SAYA BISA KEMBALI memasuki gerbang Pertamina yang lebar dan kokoh ini. Sebelumnya saya kemari untuk mengantar surat tugas. Namun hanya Doni, salah satu pegawai bagian LPG,yang bisa saya temui. Ia pun meminta nomor ponsel saya dan berjanji akan menghubungi bila Pak Usman sudah ada. “ Nanti pihak kami yang akan menghubungi mbak kalau sudah bisa wawancara, “katanya. Namun saya tetap meminta nomor ponselnya. Ia pun memberikan nomor telpon kantor. Dengan langkah berat, saya pun keluar dari ruangan itu. Dan hari ini, saya kembali lagi setelah sebelumnya ketika mengkonfirmasi melalui via telpon, Doni tetap mengatakan bahwa Pertamina Malang tidak bisa melakukan wawancara sebelum mendapat izin dari Pertamina Surabaya. Kami akan berkirim surat dulu, katanya waktu itu. Berapa lama lagi? tanyaku dalam hati. Tentu membutuhkan waktu yang lama bila harus menunggu jawaban surat dari Pertamina Surabaya. Sedangkan saya harus segera memperoleh data secepatnya. Sempat menyerah saat itu, sempat pula pasrah.
Setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Doni yang menyambut dengan senyum kecilnya. Ia pun mengantarku ke ruangan yang pasti adalah ruang Pak Usman.
Usman Lekki, namanya memang tidak asing kudengar. Di setiap surat kabar yang memuat berita tetang LPG dan Pertamina, namanya selalu ada. Sales representative LPG Rayon III ini mengakui bahwa pendisribusian paket LPG tahun 2007 lalu memang belum merata. Namun ia mengatakan bahwa jumlah paket kompor LPG yang dikeluarkan oleh Pertamina adalah berdasarkan dari jumlah pendataan masyarakat di 5 kecamatan yang akan di konversi. Adapun kriteria masyarakat yang berhak memperoleh paket perdana yang terdiri dari 1 kompor 1 tungku, 1 selang + regulator dan 1 tabung isi 3 kg itu adalah sbb :
1. Rumah tangga, pemakai minyak tanah murni dan belum menggunakan LPG.
2. Rumah tangga dengan golongan ekonomi C,D,E (penghasilan dibawah Rp. 1.500.000 per bulan)
3. Domisili di wilayah kota Malang yang sedang di konversi (dibuktikan dengan KTP dan Kartu Keluarga (KK)
4. Pelaku usaha mikro dibuktikan dengan surat keterangan dari desa / kelurahan
Ketika mengkonfirmasi masalah konversi Bagian II sebagaimana yang dikatakan masyarakat di Kelurahan Ksatrian, Usman pun membantah adanya konversi bagian II. “kata siapa?”. “Tidak ada konversi lagi”, katanya.
“nanti masalah data-data yang lain tanya Doni saja, saya hanya menangani masalah kebijakan saja”katanya lagi.
Doni pun memberi data-data jumlah paket perdana yang telah didistribusikan saat konversi, sbb :

Kecamatan Jumlah Paket

Blimbing 37.503

Klojen 28.349

Sukun 45.272

Lowokwaru 28.328

Kedungkandang 47.472

Jumlah 186.924


Saya pun mengecek kembali data jumlah pendistribusian paket perdana dari Disperindagkop. Mengapa jumlah data jumlah paket di Pertamina berbeda dengan di disperindagkop? Jumlah keseluruhan berdasarkan data dari Pertamina adalah 186.924 paket. Sedangkan di disperindagkop tercatat sejumlah 182.680 paket. Kemanakah 4. 244 paket itu?

HISWANA MIGAS, TERPAMPANG JELAS TULISAN BESAR DIDEPAN GERBANGNYA yang tidak terlalu tinggi.Saya mengecek alamat lagi, Jln Danau Maninjau barat Blok D3 A13. Yap, inilah kantor yang saya cari. Kantor Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak Dan Gas Bumi (Hiswana Migas). Tempat ini sepi sekali. Bangunannya memang tidak seperti kantor, dan tidak ada kendaraan satupun parkir di depan kantor ini. Jangan-jangan kantornya sudah tutup, pikirku dalam hati. Setelah berkali-kali memencet tombol yang bertiliskan BEL yang berada di depan pintunya. Seorang wanita setengah baya berpenampilan rapi dan anggun, menyambutku. Setelah memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuan kemari.
“ Pak Rizalnya masih ke Jakarta mbak, kira-kira 1 minggu lagi baru balik’, katanya
“ Selain Pak Rizal, kira-kira ada yang bisa saya wawanca ga bu,? “mungkin ibu berkenan kalo ada waktu”, sambungku cepat.
“ Wah kalo saya ga bisa mbak, itu bukan kewenangan saya, biasanya langsung ke Pak Rizal kok mbak”
Saya pasrah, tidak mungkin saya menunggu Pak Rizal, yang ternyata adalah Ketua Hiswana Migas ini 1 minggu lagi. Deadline tugas saya tinggal beberapa hari lagi. Pulang dengan perasaan kecewa lagi-lagi saya rasakan.
Sore itu cerah, Ibu Sajum duduk didepan tokonya. Dibagian depan toko berjejer tabung-tabung gas berukuran 8 kg. Selain itu toko kecil ini menjual berbagai macam barang-barang kebutuhan sehari-hari. Ternyata tabung LPG tersebut dipasoknya melalui agen dengan jumlah 50 tabung LPG setiap kali memasok dan dengan harga Rp.12.000 per tabungnya. Ibu sajum menjualnya kembali dengan harga Rp.12.500,-.
“Lho kok murah bu, tabung isi 8 kilo harganya kok Rp. 12.500?”, Tanya saya heran.
Saya benar-benar kaget saat itu, sepengetahuan saya harga tabung yang isi 3 kg saja Rp. 13.500,-
“ini tabungnya aja yang 8 kg mbak, isinya cuma 3 kg”, katanya
Pantas saja. Tapi ini benar-benar menipu. Seandainya saja semua pangkalan sejujur Ibu Sajum, tidak mengapa. Tapi seandainya saja pangkalan yang nakal dan menipu orang awan, tentu ini sangat merugikan. Orang awam tentu tidak bisa mengetahui pasti isi dari tabung LPG tersebut. Karena biasanya kita hanya langsung melihat dari ukurannya saja. Mengapa Pertamina mengisi tabung yang ukuran 8 kg dengan isi 3 kg, apakah karena kekurangan tabung atau apa, saya pun tak mengerti.

DALAM MASALAH PENDATAAN DAN PENDISTRIBUSIAN LPG DALAM KONVERSI tahun lalu, Pertamina menunjuk PT Cayaha Bintang Sembilan sebagai suryeyor. Pencacahan pun mulai dikakukan oleh surveyor pada tanggal 18 Oktober 2007 sampai 23 November 2007. Dan proses pencaahan oleh surveyer tersebut, tidak menggunakan data milik BPS. Ternyata data tersebut saai ini sudah tidak relevan lagi, karena sudah banyak perubahan. Kemudian proses distribusi pun dilakukan mulai tanggal 19 Oktober sampai 25 Februasi silam.
Sepertinya pihak Pertamina memang belum siap dengan dengan konversi ini, banyak bukti dilapangan seperti halnya kasus pemberian Kartu kendali untuk pembelian minyak bersubsidi. Bukankah pemerintah mencanangkan program ini untuk mengendalikan jumlah minyak tanah di pasaran. Bahkan dengan adanya konversi ini minyak tanah akan di cabut dan tidak akan di distribusikan lagi. Namun, mengapa pihak BPN MIGAS malah mengeluarkan kartu kendali itu. Mungkin konversi ini tidak bisa dikatakan sukses, melihat berdasarkan data di lapangan bahwa dalam suatu kecamatan yang di konversi hanya ± 20 persen saja dari jumlah keseluruhan penduduk yang menggunakan kompor LPG tersebut. Kalau begitu sudah berapakah kerugian pemerintah? Padahal dana yang telah dikeluarkan pemerintah lebih dari Triliunan rupiah untuk merealisasikan program konversi ini.