TUGAS SKI
Sistem Pers Indonesia, Sistem Komunikasi Pada Masa Orde Baru
Terbelenggunya Media Massa Dalam Kekuasaan Orde Baru
( Kasus Pembredelan Majalah Tempo)
Nama : Vera Widiaswari Ardy
NIM : 06220327
Kelas : C
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2008
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Orde baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya. Ekonomi Indonesia memang berkembang pesat pada saat itu, program transmigrasi, KB dan memerangi buta huruf pun sukses pada masa itu. Bahkan pendapatan per kapita pun melonjak naik. Namun itu hanyalah merupakan gambaran kebaikan dari kesuksesan pemerintah orde baru. Padahal didalam system pemerintahannya begitu banyak terjadi kecurangan- kecurangan, seperti merajalelanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kebebasan pers sangat terbatas, dan banyak terjadinya pembredelan media massa.
Pada saat itu terjadi peristiwa yang fenomenal yaitu peristiwa Malari. Peristiwa Malari melibatkan pemredelan 12 media cetak. Kasus Malari yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1974 itu mencatat begitu banyak korban jiwa dan kerusakan terjadi dimana-mana. Namun yang paling fenomenal sepanjang pembedelan media massa adalah pembredelan atau pencabutan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) sejumlah media massa, antara lain Majalah Tempo, deTIK, dan Editor. Ketiganya ditutup penerbitannya karena pemberitaan yang tergolong kritis terhadap pemerintah.
Dari begitu banyaknya pembedelan yang terjadi pada masa orde baru, kasus pembredelan Tempo adalah yang paling menarik. Karena meskipun pada waktu itu tempo dalam keadaan yang sangat sulit, namun ia tetap berani berjuang untuk melawan pemerintah saat itu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan pers pada masa orde baru?
2. Mengapa Tempo tetap melawan kekuasaan Orde Baru?
3. Bagaimana fungsi dewan pers pada masa Orde baru?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru
Pada awal kekuasaan orde baru, Indonesia dijanjikan akan keterbukaan serta kebebasan dalam berpendapat. Masyarakat saat itu bersuka-cita menyambut pemerintahan Soeharto yang diharapkan akan mengubah keterpurukan pemerintahan orde lama. Pemerintah pada saat itu harus melakukan pemulihan di segala aspek, antara lain aspek ekonomi, politik, social, budaya, dan psikologis rakyat. Indonesia mulai bangkit sedikit demi sedikit, bahkan perkembangan ekonomi pun semakin pesat. Namun sangat tragis, bagi dunia pers di Indonesia. Dunia pers yang seharusnya bersuka cita menyambut kebebasan pada masa orde baru, malah sebaliknya. Pers mendapat berbagai tekanan dari pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada maka media massa tersebut akan mendapatkan peringatan keras dari pemerintah yang tentunya akan mengancam penerbitannya.
Pada masa orde baru, segala penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui departemen penerangan. Bila ingin tetap hidup, maka media massa tersebut harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintahan orde baru. Pers seakan-akan dijadikan alat pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya, sehingga pers tidak menjalankan fungsi yang sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
“Pada masa orde baru pers Indonesia disebut sebagai pers pancasila. Cirinya adalah bebas dan bertanggungjawab”. (Tebba, 2005 : 22). Namun pada kenyataannya tidak ada kebebasan sama sekali, bahkan yang ada malah pembredelan.
Tanggal 21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibredel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan oleh pejabat-pejabat Negara. Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Harmoko selaku menteri penerangan pada saat itu. Meskipun pada saat itu pers benar-benar diawasi secara ketat oleh pemerintah, namun ternyata banyak media massa yang menentang politik serta kebijakan-kebijakan pemerintah. Dan perlawanan itu ternyata belum berakhir. Tempo misalnya, berusaha bangkit setelah pembredelan bersama para pendukungnya yang antu rezim Soeharto.
B. Pembredelan Tempo serta perlawanannya terhadap pemerintah Orde Baru
Pembredelan 1994 ibarat hujan, jika bukan badai dalam ekologi politik Indonesia secara menyeluruh. Tidak baru, tidak aneh dan tidak istimewa jika dipahami dalam ekosistemnya. (Aliansi Jurnalis Independen, 1995 : 140)
Sebelum dibredel pada 21 Juni 2004, Tempo menjadi majalah berita mingguan yang paling penting di Indonesia. Pemimpin Editornya adalah Gunawan Mohammad yang merupakan seorang panyair dan intelektual yang cukup terkemuka di Indonesia. Pada 1982 majalah Tempo pernah ditutup untuk sementara waktu, karena berani melaporkan situasi pemilu saat itu yang ricuh. Namun dua minggu kemudian, Tempo diizinkan kembali untuk terbit. Pemerintah Orde Baru memang selalu was-was terhadap Tempo, sehingga majalah ini selalu dalam pengawasan pemerintah. Majalah ini memang popular dengan independensinya yang tinggi dan juga keberaniannya dalam mengungkap fakta di lapangan. Selain itu kritikan- kritikan Tempo terhadap pemerintah di tuliskan dengan kata-kata yang pedas dan bombastis. Goenawan pernah menulis di majalah Tempo, bahwa kritik adalah bagian dari kerja jurnalisme. Motto Tempo yang terkenal adalah “ enak dibaca dan perlu”.
Meskipun berani melawan pemerintah, namun tidak berarti Tempo bebas dari tekanan. Apalagi dalam hal menerbitkan sebuah berita yang menyangkut politik serta keburukan pemerintah, Tempo telah mendapatkanberkali-kali maendapatkan peringatan. Hingga akhirnya Tempo harus rela dibungkam dengan aksi pembredelan itu.
Namun perjuangan Tempo tidak berhenti sampai disana. Pembredelan bukanlah akhir dari riwayat Tempo. Untuk tetap survive, ia harus menggunakan trik dan startegi.Salah satu trik dan strategi yang digunakan Tempo adalah yang pertama adalah mengganti kalimat aktif menjadi pasif dan yang kedua adalah stategi pinjam mulut. Semua strategi itu dilakukan Tempo untuk menjamin kelangsungannya sebagai media yang independen dan terbuka. Tekanan yang dating bertubi-tubi dari pemerintah tidak meluluhkan semangat Tempo untuk terus menyampaikan kebenaran kepada masyarakat.
Setelah pembredelan 21 Juni 1994, wartawan Tempo aktif melakukan gerilya, seperti dengan mendirikan Tempo Interaktif atau mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi) pada tahun 1995. Perjuangan ini membuktikan komitmen Tempo untuk menjunjung kebebasan pers yang terbelenggu ada pada zaman Orde Baru. Kemudian Tempo terbit kembali pada tanggal 6 Oktober 1998, setelah jatuhnya Orde Baru.
C. Fungsi Dewan Pers pada masa Orde Baru
Dewan pers adalah lembaga yang menaungi pers di Indonesia. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.
Ada tujuh fungsi dewan pers yang diamanatkan UU, diantaranya : (www.JurnalNasional.com)
1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, bisa pemerintah dan juga masyarakat.
2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.
3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.
4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat adn pemerintah.
6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan.
7. Mendata perusahaan pers.
Pada masa Orde baru, fungsi dewan pers ini tidaklah efektif. Dewan pers hanyalah formalitras semata. Dewan Pers bukannya melindungi sesama rekan jurnalisnya, malah menjadi anak buah dari pemerintah Orde Baru. Hal itu terlihat jelas ketika pembredelan 1994, banyak anggota dari dewan pers yang tidak menyetujui pembredelan. Termasuk juga Gunaman Muhammad yang selaku editor Tempo juga termasuk dalam dewan pers saat itu. Namun ironisnya, pada saat itu dewan pers diminta untuk mendukung pembredelan tersebut. Meskipun dewan pers menolak pembredelan, tetap saja pembredelan dilaksanakan. Menolak berarti melawan pemerintah. Berarti benar bahwa dewan pers hanya formalitas saja.
Istilah pers digunakan dalam konteks historis seperti pada konteks “press freedom or law” dan “power of the press”. Sehingga dalam fungsi dan kedudukannya seperti itu, tampaknya, pers dipandang sebagai kekuatan yang mampu mempengaruhi masyarakat secara massal. ( John C. Merrill, 1991, dalam Asep Saeful, 1999 : 26)). Seharusnya pers selain mempengaruhi masyarakat, pers juga bisa mempengaruhi pemerintah. Karena pengertian secara missal itu adalah seluruh lapisan masyarakat baik itu pemerintah maupun masyarakat. Namun di Era Orde Baru, dewan pers memang gagal meningkatkan kehidupan pers nasional, sehingga dunia pers hanya terbelenggu oleh kekuasaan oleh kekuasaan Orde Baru tanpa bisa memperjuangkan hak-haknya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pers dalam masa orde baru seakan-akan kehilangan jati dirinya sebagai media yang bebas berpendapat dan menyampaikan informasi. Meskipun orde baru telah menjanjikan keterbukaan dan kebebasan di awal pemerintahannya, namun pada kenyataannya dunia pers malah terbelenggu dan mendapat tekanan dari segala aspek. Pers pun tidak mau hanya diam dan terus mengikuti permainan politik Orde baru. Sehingga banyak media massa yang memberontak melalui tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintah, bahkan banyak pula yang membeberkan keburukan pemerintah. Itulah sebabnya pada tahun 1994 banyak media yang dibredel, seperti Tempo, deTIK, dan Monitor. Namun majalah Tempo adalah satu-satunya yang berjuang dan terus melawan pemerintah orde baru melalui tulisan-tulisannya hingga sampai akhirnya bisa kembali terbit setelah jatuhnya Orde baru. Pemerintah memang memegang kendali dalam semua aspek pada saat, terutama dalam dunia pers. Lalu apa fungsi dari dewan pers pada saat itu? Ternyata dewan pers hanyalah dibuat pemerintah untuk melindungi kepentingan pemerintah saja, bukan melindungi insan pers dan masyarakat. Dewan Pers seakan kehilangan fungsinya dan hanya formalitas belaka.
B. Saran
Dengan jatuhnya Orde Baru, maka dimulailah kebangkitan bagi pers Indonesia. Kebebasan pers diakui. Akibatnya adalah banyak bermunculan di media massa baru, baik itu cetak maupun elektronik berbondong-bondong mengisi era reformasi saat itu. Hingga saat ini, kebebasan pers memang diakui. Inilah yang diinginkan oleh pers pada masa Orde Baru. Saat ini memang buakn pemerintah yang mengendalikan rakyat, tetapi sebaliknya rakyat melaui pers dapat mengendalikan pemerintah. Namun kebebasan dunia pers saat ini tidak terkendali. Malah terlalu bebas dan berlebihan. Sehingga siapa pun bisa menjadi wartawan dan siapun bisa menulis apa saja yang mereka suka dalam media massa. Seharusnya pers saat ini memegang prinsip kebebasan yang terbatas. Jadi pers harus tetap memegang prinsip-prinsip jurnalis dan kote etik wartawan.
Daftar Pustaka
Aliansi Jurnalis Independen. 1995. Wartawan Independen, Sebuah Pertanggungjawaban AJI. Jakarta : Aliansi Jurnalis Independen
Asep Saeful Muhtadi. 1999. Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik. Ciputat : Logos wacana Ilmu
Sudirman Tebba. 2005. Jurnalistik Baru. Ciputat : Kalam Indonesia
http://www.tempointeraktif.com/ang/min/02/18/kolom2.htm
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Usia Era Otonomi Daerah sudah memasuki usia 10 thn sejak diberlakukannya UU 22/1999..dimana kebebasan pers tidak lagi dikekang sebagaimana masa orba...adalah tepat waktunya di usia ke 10 thn otda ini kaum pers dan segenap stakeholders mereview kembali seberap jauh keberhasilannya...
BalasHapusmari bergabung bersama kami di www.sakatik.blogspot.com...
salam dari pulau Kalimantan...
k' aku nggak apa" kan copy paste pekerjaan kk?
BalasHapusmepet bgt ni k' .
tugasnya baru di kasih tau tadi dan besok harus dikumpulin .
maaf banget ya k' . :(
tp artikel ini keren bgt kQ . :)
Kakak yg manis...
BalasHapusMaaf yaa,sbagian artikel kakak g'cOpy cZ
Q da tugas presentasi PKN di scuL Q.
Makasih sblmnya ya kak ???
^_^
hai..
BalasHapusaku barusan ambil sebagian yah punya kk..
maaf sebelumnyah,saya lagi butuh perbandingan paper ttg demokrasi pers..
terimakasih...
bagi2 ilmu biar manfaat ya...
BalasHapuslebih bagus lagi kalo ada backnote/footnote pas mengambil dari referensi, tp selebihnya bagus:)
BalasHapus